Minggu, 29 November 2015

Study Tentang Gender "Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga"



KATA PENGANTAR
             Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT kerena atas berkat limpahan nikmatNYA, sehingga kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam tak lupa semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, karena beliaulah satu-satunya nabi yang membawa umat manusia dari zaman jahiliah menuju ke zaman islamiah.
            Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Gender. Dengan harapan dapat bermanfaat bagi mahasiswa terutama sebagai penunjang dalam proses pembelajaran. Sehingga dapat memberi kemudahan bagi mahasiswa terkait dengan pembelajaran tersebut. Selain itu kami berharap dengan adanya penyusunan makalah ini menjadikan kami sebagai mahasiswa yang lebih kreatif dan lebih inovatif kedepannya.
            Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga”. kami akan memberikan pemaparan mengenai hal tersebut secara lebih dalam. makalah ini terbagi dalam tiga bagian besar. Yaitu pendahuluan, pemabahasan dan penutup.
Tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada:
1.      Ibu Tutik Sulistyowati selaku dosen pembina mata kuliah Sosiologi Gender
2.      Orangtua-orangtua kami yang senantiasa memberikan doa dan dukungan, serta
3.      Rekan-rekan yang berperan aktif dalam pembuatan paper ini. Sehingga paper ini dapat  tersusun dengan tepat waktu.
Demikian pengantar dari kami, kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk makalah ini. Untuk perbaikan makalah kami kedepannya. Karena makalah ini sangatlah banyak kekurangan. Terimakasih.
                                                                       
Malang,  18 November 2015 
                 Penulis



DAFTAR ISI


Halaman Judul
Kata Pengantar………………………………………………………………………..1
Daftar isi………………………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah……………………………………………………...3-4
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………….5
C.     Tujuan dan manfaat…………………………………………………………...5
BAB II ISI
A.    Konsep gender……………………………………………………………….6
B.     Pengertian tindak kekerasan…………………………………………………7
C.     Akibat tindak kekerasan……………………………………………………..8
D.    Penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga……………………………9
E.     Akibat tindak kekerasan……………………………………………………..10      
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan………………………………………………………………….11
B.     Saran…………………………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..13     




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Studi tentang gender bukan hanya sekedar sebuah upaya memahamiperempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan keduanya dalam konteks sistem sosial yang integral. Konstruk sosial yang cenderung membedakan laki-laki dan perempuan, berdampak tidak hanya pada pengalaman yang berbeda antara keduanya, tetapi terjadi ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di bidang sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Ketidaksetaraan dan ketidakadlilan gender ini menjadi problem pembangunan. Khususnya dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan di masyarakat. Akibat dari ketidakadilan gender ini salah satunya menyebabkan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996).
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial.  Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri. Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture.  Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan.  Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).  Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan.  Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi.  Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami.  Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.  Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri.  Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.



B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan kami ambil yaitu:
1.      Bagaimanakah konsep Gender?
2.      Apa itu tindak kekerasan?
3.      Apa saja penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga?
4.      Bagaimanakah akibat dari tindak kekerasan tersebut?

C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan penulisannya yaitu:
1.      Untuk mengetahui bagaimanakah konsep gender
2.      Untuk mengetahui apa itu tindak kekerasan
3.      Untuk mengetahui apa sajakah penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
4.      Untuk mengetahui bagaimanakah akibat dari tindak kekerasan tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Gender
Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat. Dengan demikian, kalau membahas tentang konsep dan ruang lingkup gender berarti menyangkut peran, fungsi, status, tanggungjawab, kebutuhan umum, kebutuhan khusus, permasalahan umum, permasalahan khusus, baik pada laki-laki maupun perempuan. Konsep gender menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat, akademisi, maupun pemerintahan sejak dahulu dan bahkan sampai sekarang. Pada umumnya sebagian masyarakat merasa terancam dan terusik pada saat mendengar kata ‟gender‟. Ada semacam mind set yang alergi terhadap apapun yang berkaitan dengan gender. Hal ini dikarenakan adanya stereotipe terhadap istilah gender yang dianggap sebagai penyebab perubahan negatif terhadap tatanan keluarga dan masyarakat dengan memaksa kaum perempuan yang seharusnya berada di sektor domestik di dalam rumah berpindah ke sektor produktif di luar rumah.
Permasalahan gender bermula dari permasalahan relasi gender di tingkat keluarga yang tidak seimbang dan merugikan salah satu pihak. Apabila relasi gender ini dianggap bermasalah dan merugikan salah satu pihak, maka dampak dari kesenjangan gender tersebut, tampak pada kehidupan keluarga yaitu adanya bias gender dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan tenaga kerja serta ekonomi yang semuanya membawa ketertinggalan kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dampak masalah kesenjangan gender ini salah satunya adalah domestic violence (kekerasan dalam rumahtangga) yang kasusnya lebih besar menimpa kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

B.       Pengertian Tindak Kekerasan
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga. Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga, ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996).
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.
C.      Bentuk-bentuk Kekerasan

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam  rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1.     Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
D.      Penyebab Kekerasan Terhadap perempuan
1.      Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang ada ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Dalam struktur dominasi tersebut kekerasaan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari hubungan yang demikian seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Muncul ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomorduaan (subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kekerasan pada perempuan.
2.      Adanya pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang keliru seringkali menempatkan perempuan (istri) sebagai pihak yang berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami), sehingga suami menganggap dirinya berhak melakukan apapun terhadap istri. Misalnya, pemukulan dianggap sebagai cara yang wajar dalam ”mendidik” istri.
3.      Prilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua merupakan model atau panutan untuk anak. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan menganggap bahwa kekerasan adalah suatu penyelesaian permasalahan yang wajar untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anak anak menjadi dewasa.
4.      Tekanan hidup yang dialami seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi (kemiskinan), kehilangan pekerjaan (pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memungkinkan seseorang mengalami stress dan kemudian dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
5.      Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.

E.     Akibat Dari Tindak Kekerasan
Dampak pada perempuan korban dapat berupa dampak jangka pendek atau dampak langsung dan dampak jangka panjang. Dampak langsung bisa berupa luka fisik, kehamilan yang tidak diinginkan, hilangnya pekerjaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam jangka panjang perempuan korban dapat mengalami gangguan psikis seperti hilangnya rasa percaya diri (menutup diri), ketakutan yang berlebihan, dan sebagainya. Kekerasan yang terjadi terkadang dilakukan pula secara berulang oleh pelaku pada korban yang sama. Kekerasan semacam ini dapat memperburuk keadaan si korban. Secara psikologis tentu akan muncul rasa takut hingga depresi.
Kekerasan yang terjadi pada istri dapat pula melahirkan kekerasan lanjutan. Anak dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga baik itu secara langsung oleh si pelaku maupun menjadi korban kedua (lanjutan) atas kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh si korban pertama. Misalnya, suami melakukan kekerasan pada istri dan kemudian istri melampiaskan kekerasan tersebut pada si anak. Pada anak, selain berdampak pada kondisi psikologis (traumatik), dalam jangka panjang dapat berdampak pula pada munculnya kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga di masa yang akan datang. Proses tumbuh kembang anak tentu menjadi terganggu.


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
o  Dampak masalah kesenjangan gender salah satunya adalah domestic violence (kekerasan dalam rumahtangga) yang kasusnya lebih besar menimpa kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
o  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga. Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
o  Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi.
o  Penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan adalah karena pengaruh budaya patriarkhi, adanya ajaran agama yang keliru, perilaku meniru oleh anak yang diserapp dalam rumah tangga, tekanan hidup yang dialami seseorang, beban pengasuhan anak.
o  Bentuk-bentuk kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual
o  Adanya kekerasan ini berdampak langsung dan tidak langsung terhadap korban tindak kekerasan

B.       Saran

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya persoalan milik perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Perlu keterlibatan laki-laki untuk bersama-sama melangkah dan berbuat sesuatu untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal lain yang perlu disadari adalah bahwa pemulihan korban dari dampak kekerasan dalam rumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, pencegahan, pendampingan, pemulihan dan penegakan hukum dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat ditawar lagi pelaksanaannya.



DAFTAR PUSTAKA
Dep. Kes. RI. (2006).  Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah   Tangga.  Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari http://www.depkes.co.id.
Hasbianto, Elli N.  (1996).  Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Potret Muram Kehidupan
WHO. (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada tanggal 20 november 2015 dari www.depkes.go.id.
file:///E:/genderff/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html. Diakses pada tanggal 21                      november 2015 jam 14.00
http://pkko.fik.ui.ac.id/files/KEKERASAN%20PADA%20ISTRI%20DALAM%20RUMAH%0 TANGGA.doc. diakses pada tanggal 24 november 2014 jam 11.10
https://www.academia.edu/578338/faktorfaktor_penyebab_terjadinya_kekerasan_terhadap_            perempuan_dalam_rumah_tangga_studi_di_polres_mataram. Diakses pada tanggal 24       november 2015 jam 11.12



Senin, 02 November 2015

Puisi Terkait Dengan Politik

Dari ku untuk calon pemimpin bangsa

Mataku sudah bosan melihat wajah-wajah palsumu
Telingaku sudah tak tahan mendengar omong kosongmu
Hatiku sudah tak mampu lagi menerima kehadiran pemimpin sepertimu

Aku tak butuh wajah-ŵajah yang bermuka dua sepertimu
Aku tak butuh omongan-omongan yang penuh kepalsuan
Dan aku tak butuh sandiwara-sandiwara mu
Aku hanya butuh pemimpin yang mampu menginspirasiku untuk maju dan bangkit membela    negeri ini

Andai engkau tau para calon pemimpin bangsaku
Aku hanya butuh kejujuran darimu
Tak peduli engkau terlahir dari keluarga kaya ataupun miskin
Aku hanya ingin engkau menjadi pemimpin bangsaku yang mampu membawa negeri ini keatas awan

Jika engkau sayang kepadaku dan negaramu Buktikanlah !!!
Agar aku tak ragu memberikan Negara ini kepadamu
Wahai calon-calon pemimpin bangsaku

PENCERAHAN POLITIK

Politik di Indonesia sudah sangat dalam kondisi yang mengerikan. Pancasila tidak lagi di jadikan ideology bangsa yang secara hukum harus di taati. hampir setiap hari kita di cengangkan oleh Bebagai kasus-kasus yang muncul di dalam maupun diluar partai bahkan di tingkat daerah. Seperti kasus korupsi, kolusi, nepotisme mafia pajak, hingga suap menyuap. Ini menandakan betapa bobroknya moralitas bangsa Indonesia saat ini. Mengaku mempunyai latar belakang pendidikan politik yang tinggi namun kenyataannya perilakunya tidak mencerminkan hal yang demikian itu. Lalu apa yang salah? Dan apa yang harus di benahi di tahun 2015 ini untuk mencapai bangsa Indonesia yang bebas dari korupsi, Indonesia yang jujur? Sudahkan penegakkan hukum di negeri kita ini dijalankan? Ataukah kita sudah pesimis dan menyerah melihat 2014 adalah tahun politik. Tahun yang akan penuh dengan gesekan? Jawaban dari pertanyaan diatas akan menjadi sebuah realita yang harus dihadapi dan sebuah solusi yang perlu direalisasikan bersama, antara pemerintah dan tentunya masyarakat, dalam upaya-upaya penegakkan hukum, moral dan karakter bangsa Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, menurut saya salah satu upayanya adalah dengan memaksimalkan system pendidikan di Negara kita. Pendidikan merupakan integritas sebuah bangsa, jadi perlu adanya upaya-upaya perjuangan dalam membentuk sebuah system pendidikan yang nyata membentuk karakter bangsa. Karakter yang bermoral dan beretika. Aristoteles dengan lembut mengatakan, “Pendidikan intelektual tanpa dilandasi dengan pendidikan hati (moral dan karakter), sama artinya dengan tidak adanya pendidikan”. Begitu juga Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Dengan pendidikan hati inilah negara kita bermoral, berkarakter dan terbebas dari belenggu korupsi yang sudah di ujung tanduk dan akan menghempaskan Indonesia. Hakim akan menegakkan hukum bilamana hatinya dididik untuk jujur. Birokrat dan wakil rakyat akan memegang janjinya apabila intelektualitasnya diimbangi dengan kejujuran hati dan tanggung jawab. Suara hati merupakan suara kejujuran. Maka masyarakat perlu menanamkan karakter pada dirinya masing-masing sejak dini. Sejak sebelum menjadi hakim, sejak sebelum menjadi birokrat, sejak sebelum menjadi anggota dewan. Eksekusinya adalah setelah semuanya “menjadi”, maka terapkan apa yang kemudian kita sebut pendidikan hati nurani atau kejujuran itu sendiri. Kita tahu Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II pasal 4). Dengan mengacu pada tujuan Pendidikan Nasional diatas perlunya mengkontruksi, menanamkan, mengembangkan dan memanivestasikan moralitas dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan demikian adanya keseimbangan dalam porsi pendidikan yang bertumpu pada kecerdasan intelektual (IQ) dengan pendidikan yang bertumpu pada kecderdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional ini akan membangun sebuah karakter pada diri seseorang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Bagi Indonesia saat ini, tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita sebagai bangsa Indonesia. Untuk itu kita harus berusaha bersama-sama untuk mewujudkannya, agar Negara kita ini terbebas dari kata korupsi, kolusi maupun nepotisme yang kian hari kian merajalela. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?.

Analisis APK
















Analisis:
              Sangat miris melihat­nya, ketika foto calon pemimpin di daerah terpasang di pinggiran jalan, memerlihatkan betapa miskinnya wawasan lingkungan hidup sang kandidat dan tim kampanyenya. Yang itu juga sangat mengganggu keindahan dan ketertiban. APK semacam itu harus dicabut dan sanksi dapat diberikan kepada pihak yang memasangnya. selain itu, visi misi yang tercantum dalam APK tersebut hanyalah sebuah tipuan mata toh pada kenyataannya apa yang tercantum dalam visi misi itu tidak dilaksanakan jikalau sudah menjadi pemimpin. Ketika masih menjabat seperti ini mereka selalu memberikan janji-janji kepada rakyat agar memilihnya, namun ketika mereka sudah menjadi pemimpin janji-janji tersebut tidak di laksanakan. Akibatnya banyak masyarakat yang geram atas hal tersebut, sehingga ketika sudah tiba waktunya untuk pemilihan umum, tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk Golput ketika pemilihan umum berlangsung.

WAWANCARA

Wawancara Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).: Pemerintah Harus Introspeksi Terkait Perlindungan TKI Politikindonesia - Persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepertinya tak pernah selesai. Mulai administrasi yang bermasalah hingga tudingan pembunuhan yang mengharuskan warga Indonesia dihukum mati di negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu sempat beredar selebaran iklan "TKI on Sale" di Malaysia. Sehingga membuat berbagai pihak geram karena iklan itu merendahkan martabat bangsa. Walau Kepolisian Malaysia telah menangkap pelakunya dan memproses hukum kasus itu, Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ribka Tjiptaning, tetap saja tidak puas. Masalahnya bukan hanya pelecehan martabat bangsa, atas beredarnya iklan tersebut. Lebih luas lagi, persoalannya adalah kekurangan lapangan pekerjaan di dalam negeri. "Ini yang membuat banyak warga Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri. Jadi, selama pemerintah tidak mau intropeksi dan masih tetap saja bermental calo, masalah TKI akan terus ada," ujarnya kepada Elva Setyaningrum dari politik indonesia.com, ketika ditemui di Gedung DPR Jakarta, Rabu. Dengan terus terang, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku kehilangan simpati terhadap Malaysia yang dianggapnya tidak memiliki sensitifitas. Kasus TKI di negeri jiran itu bukan hanya soal iklan 'TKI on Sale'. Kekerasan, pelecehan, dan tidakan semena-mena terus saja terjadi. Ribka mendesak agar pemerintah melakukan introspeksi terkait kebijakannya soal TKI. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan pembukaan lapangan kerja yang lebih luas agar jumlah pekerja Indonesia yang mencari nafkah di luar negeri dapat ditekan. Berikut pandangan Ribka terhadap sejumlah persoalan TKI yang terjadi saat ini, dan sarannya tentang apa yang mesti diprioritaskan pemerintah untuk menanganinya. Masalah TKI di luar negeri sepertinya tidak pernah selesai, bagaimana pandangan anda? Persoalan TKI ini akan selalu muncul selama mental pemerintah Indonesia belum berpihak pada pembangunan industri berbasis tenaga kerja. Seperti yang saya katakan, selama pemerintah masih bermental calo dan cenderung menjadi perayu investor ketimbang memikirkan pembangunan industri berbasis tenaga kerja, maka wajar saja, persoalan ini tidak akan pernah usai. Selama Indonesia masih mengirim tenaga kerja bukan profesional ke luar negeri, hal ini akan terus terjadi. Iklan 'TKI on Sale' di Malaysia, menimbulkan reaksi keras di dalam negeri. Bagaimana ada melihat persoalan ini? Kasus iklan jual-beli TKI oleh warga Malaysia, seharusnya dijadikan bahan introspeksi diri bagi pemerintah pusat. Iklan berbentuk famlet tersebut adalah pelecehan dan merendahkan martabat warga negara Indonesia (WNI). Ini sangat menyakitkan. Wajar apabila mayoritas masyarakat merasa tersinggung dan merasa TKI dilecehkan. Untuk itu, pemerintah harus intropeksi diri sebagai penyelenggara negara. Pemerintah harus lebih focus untuk memperhatikan nasib para buruh. Pemerintah juga harus menghormati harkat martabat para buruh di Tanah Air agar negara-negara lain tidak semena-mena memperlakukan TKI kita. Bukan hanya soal iklan, kasus TKI yang mendapat perlakuan buruk juga sering mencuat. Apa komentar anda? Jujur, saya sebenarnya geram melihat perlakuan buruk yang kerap menimpa TKI kita di luar negeri. Itu yang membuat saya menjadi tidak simpati dengan Malaysia. Bagi saya, negara tetangga kita itu seolah-olah tidak memiliki sensitifitas. Oleh karena itu, saya meminta kepada perwakilan pemerintah di Malaysia (KBRI) agar serius menanggapi persoalan-persoalan TKI itu. Jangan sampai pemerintah dituding gagal dalam melindungi warga negaranya di luar negeri. Bukankah ada asuransi konsorsium yang memberikan perlindungan terhadap TKI? Kalau saya, lebih baik konsorsium itu dibubarkan saja dan dibuat lembaga baru yang lebih komprehensif. Saya menilai embaga yang ada saat ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Selain itu, dalam pembentukan konsorsium tersebut dulu, tidak melibatkan campur tangan Komisi IX DPR sebagai mitranya. Ada dugaan ketidakberesan atau monopoli dalam sistim konsorsium ini, karena hanya dikontrol oleh satu perusahaan saja. Meski Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi beralasan, pemusatan di satu perusahaan itu ditujukan agar lebih mudah dikontrol. Tapi, kenyataannya dalam 2 tahun ini banyak masalah yang timbul. Terutama terkait uang asuransi sebesar Rp400 ribu/TKI yang tidak sampai ke mereka. Misalnya, TKI yang sakit di luar negeri tetap tidak bisa memakai asuransi tersebut. Alasannya, karena terhalang oleh persyarakat yang ada. Lantas bagaimana dengan dana yang dikumpulkan konsorsium asuransi TKI itu? Nah itu dia. Saya juga mempertanyakan kemana dana itu karena tidak jelas hingga kini. Faktanya, Selama ini banyak TKI yang tidak mendapatkan pelayanan asuransi, baik yang meninggal, kecelakaan dan terpidana. Padahal dana konsorsium asuransi tersebut mencapai triliun per tahun. Setiap TKI mendapatkan Rp400 ribu, tapi hal itu tidak sampai ke tangan mereka. Sejak tahun 2006 sampai Oktober 2011 ini diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun. Meskipun pemerintah terkait, dalam hal ini Kemenakertrans membuat peraturan menteri (Permen) 3 kali setahun, soal konsorsium asuransi ini, namun hal itu tidak berdampak pada TKI. Lalu, kemana saja dana triliunan itu digunakan. Apalagi, sekarang sudah ada sekitar 162 orang terpidana ancaman mati di Malaysia akibat korban kasus narkoba dan pembunuhan. Tapi, nasib mereka di penjara sangat memprihatinkan. Bantuan pengacaranya pun baru sekarang ini ada dan hanya kontrak setahun. KPK perlu turun tangan untuk mengaudit dana konsorsium asuransi TKI, kemana larinya dana sebanyak itu. Terhadap berbagai persoalan TKI ini, menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Seharusnya, pemerintah dapat memberi jaminan kesejahteraan dan hak-hak normatif buruh. Itu banyak yang terabaikan. Kalau kita perhatikan, penderitaan buruh migran di negara tetangga juga sebenarnya tidak beda dengan apa yang dialami oleh buruh dalam negeri. Saya menilai, pemerintah lebih pro pada pengusaha dengan alasan menjaga iklim investasi dengan mengorbankan buruh.

opini

Opini KONDISI POLITIK DI INDONESIA Kondisi politik di Indonesia masih jauh dari harapan kasus-kasus korupsi masih banyak terjadi di internal partai. Demokrasi tidak lagi dijadikan sebagai aturan main yang harus dipatuhi dalam dunia perpolitikan. Korupsi dan penegakan hukum adalah problem yang menjadi hambatan serius dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Korupsi di negeri ini semakin parah dan sistemik. Bukan hanya merambah ke pelosok daerah, tetapi yang paling menyedihkan karena korupsi semakin liar di kalangan parlemen. Partai politik di Indonesia juga banyak yang kurang merakyat. Mereka hanya datang menjelang pemilu untuk berkampanye, ada juga yang kemudian memberikan sejumlah uang kepada tim suksesnya untuk dibagikan kepada masyarakat agar masyarakat mau memilihnya. Tidak sedikit pula partai-partai yang hanya mengandalkan iklan-iklan dimedia guna meraih simpati rakyat dengan memberi janji-janji baru atau janji lama dengan kemasan baru. Akibatnya masyarakat banyak yang golput ketika pemilihan, karena kurangnya kepercayaan kepada pemerintah. Selama ini kita saksikan tidak sedikit partai politikdi Indonesia yang menjalankan funngsi rekrutmen politik secara baik dan tepat, tidak heran jika banyak wajah-wajah yang kita lihat tidak memiliki latar belakang pndidikan politik, padahal mereka akan menduduki posisi pejabat public di wilayah yang mengurusi kepentingan politik bangsa. Contoh caleg dari artis-artis baik openyanyi maupun comedian. Lalu bagaimana bisa mereka berdebat dan berargumentasi dalam menghadapi persoalan Negara? Penegakan hukum di Indonesia juga masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Hokum di Indonesia bagaikan pedang, tajam keatas tumpul kebawah. Hukum hamya berlaku kepada mereka yang tidak memiliki banyak uang. Artinya hokum di Indonesia masih bisa di beli. Contoh real, gayus tambunan yang sudah di tahan namun masih bisa keluar masuk tahanan dengan seenaknya, dia melakukan suap hingga dia bisa keluar masuk tahanan. Ini membuktikan bahwa hokum di Indonesia secara umum belum mampu di tegakkan dengan baik dan tepat.