Senin, 02 November 2015
WAWANCARA
Wawancara
Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).: Pemerintah Harus Introspeksi Terkait Perlindungan TKI
Politikindonesia - Persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepertinya tak pernah selesai. Mulai administrasi yang bermasalah hingga tudingan pembunuhan yang mengharuskan warga Indonesia dihukum mati di negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu sempat beredar selebaran iklan "TKI on Sale" di Malaysia. Sehingga membuat berbagai pihak geram karena iklan itu merendahkan martabat bangsa. Walau Kepolisian Malaysia telah menangkap pelakunya dan memproses hukum kasus itu, Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ribka Tjiptaning, tetap saja tidak puas. Masalahnya bukan hanya pelecehan martabat bangsa, atas beredarnya iklan tersebut. Lebih luas lagi, persoalannya adalah kekurangan lapangan pekerjaan di dalam negeri.
"Ini yang membuat banyak warga Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri. Jadi, selama pemerintah tidak mau intropeksi dan masih tetap saja bermental calo, masalah TKI akan terus ada," ujarnya kepada Elva Setyaningrum dari politik indonesia.com, ketika ditemui di Gedung DPR Jakarta, Rabu. Dengan terus terang, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku kehilangan simpati terhadap Malaysia yang dianggapnya tidak memiliki sensitifitas. Kasus TKI di negeri jiran itu bukan hanya soal iklan 'TKI on Sale'. Kekerasan, pelecehan, dan tidakan semena-mena terus saja terjadi. Ribka mendesak agar pemerintah melakukan introspeksi terkait kebijakannya soal TKI. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan pembukaan lapangan kerja yang lebih luas agar jumlah pekerja Indonesia yang mencari nafkah di luar negeri dapat ditekan. Berikut pandangan Ribka terhadap sejumlah persoalan TKI yang terjadi saat ini, dan sarannya tentang apa yang mesti diprioritaskan pemerintah untuk menanganinya. Masalah TKI di luar negeri sepertinya tidak pernah selesai, bagaimana pandangan anda?
Persoalan TKI ini akan selalu muncul selama mental pemerintah Indonesia belum berpihak pada pembangunan industri berbasis tenaga kerja. Seperti yang saya katakan, selama pemerintah masih bermental calo dan cenderung menjadi perayu investor ketimbang memikirkan pembangunan industri berbasis tenaga kerja, maka wajar saja, persoalan ini tidak akan pernah usai. Selama Indonesia masih mengirim tenaga kerja bukan profesional ke luar negeri, hal ini akan terus terjadi.
Iklan 'TKI on Sale' di Malaysia, menimbulkan reaksi keras di dalam negeri. Bagaimana ada melihat persoalan ini? Kasus iklan jual-beli TKI oleh warga Malaysia, seharusnya dijadikan bahan introspeksi diri bagi pemerintah pusat. Iklan berbentuk famlet tersebut adalah pelecehan dan merendahkan martabat warga negara Indonesia (WNI). Ini sangat menyakitkan. Wajar apabila mayoritas masyarakat merasa tersinggung dan merasa TKI dilecehkan. Untuk itu, pemerintah harus intropeksi diri sebagai penyelenggara negara. Pemerintah harus lebih focus
untuk memperhatikan nasib para buruh. Pemerintah juga harus menghormati harkat martabat para buruh di Tanah Air agar negara-negara lain tidak semena-mena memperlakukan TKI kita.
Bukan hanya soal iklan, kasus TKI yang mendapat perlakuan buruk juga sering mencuat. Apa komentar anda? Jujur, saya sebenarnya geram melihat perlakuan buruk yang kerap menimpa TKI kita di luar negeri. Itu yang membuat saya menjadi tidak simpati dengan Malaysia. Bagi saya, negara tetangga kita itu seolah-olah tidak memiliki sensitifitas. Oleh karena itu, saya meminta kepada perwakilan pemerintah di Malaysia (KBRI) agar serius menanggapi persoalan-persoalan TKI itu. Jangan sampai pemerintah dituding gagal dalam melindungi warga negaranya di luar negeri.
Bukankah ada asuransi konsorsium yang memberikan perlindungan terhadap TKI? Kalau saya, lebih baik konsorsium itu dibubarkan saja dan dibuat lembaga baru yang lebih komprehensif. Saya menilai embaga yang ada saat ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Selain itu, dalam pembentukan konsorsium tersebut dulu, tidak melibatkan campur tangan Komisi IX DPR sebagai mitranya. Ada dugaan ketidakberesan atau monopoli dalam sistim konsorsium ini, karena hanya dikontrol oleh satu perusahaan saja. Meski Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi beralasan, pemusatan di satu perusahaan itu ditujukan agar lebih mudah dikontrol. Tapi, kenyataannya dalam 2 tahun ini banyak masalah yang timbul. Terutama terkait uang asuransi sebesar Rp400 ribu/TKI yang tidak sampai ke mereka. Misalnya, TKI yang sakit di luar negeri tetap tidak bisa memakai asuransi tersebut. Alasannya, karena terhalang oleh persyarakat yang ada.
Lantas bagaimana dengan dana yang dikumpulkan konsorsium asuransi TKI itu? Nah itu dia. Saya juga mempertanyakan kemana dana itu karena tidak jelas hingga kini. Faktanya, Selama ini banyak TKI yang tidak mendapatkan pelayanan asuransi, baik yang meninggal, kecelakaan dan terpidana. Padahal dana konsorsium asuransi tersebut mencapai triliun per tahun. Setiap TKI mendapatkan Rp400 ribu, tapi hal itu tidak sampai ke tangan mereka. Sejak tahun 2006 sampai Oktober 2011 ini diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun. Meskipun pemerintah terkait, dalam hal ini Kemenakertrans membuat peraturan menteri (Permen) 3 kali setahun, soal konsorsium asuransi ini, namun hal itu tidak berdampak pada TKI. Lalu, kemana saja dana triliunan itu digunakan. Apalagi, sekarang sudah ada sekitar 162 orang terpidana ancaman mati di Malaysia akibat korban kasus narkoba dan pembunuhan. Tapi, nasib mereka di penjara sangat memprihatinkan. Bantuan pengacaranya pun baru sekarang ini ada dan hanya kontrak setahun. KPK perlu turun tangan untuk mengaudit dana konsorsium asuransi TKI, kemana larinya dana sebanyak itu.
Terhadap berbagai persoalan TKI ini, menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Seharusnya, pemerintah dapat memberi jaminan kesejahteraan dan hak-hak normatif buruh. Itu banyak yang terabaikan. Kalau kita perhatikan, penderitaan buruh migran di negara tetangga juga sebenarnya tidak beda dengan apa yang dialami oleh buruh dalam negeri. Saya menilai, pemerintah lebih pro pada pengusaha dengan alasan menjaga iklim investasi dengan mengorbankan buruh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar